INSPIRASI INDONESIA | Training & Consultant
  • Home
  • About Us
    • About Inspirasi Indonesia
    • About Hingdranata Nikolay
    • Our Team
    • Our Principals
  • Service
    • Online Learning Services >
      • Akademi Inspirasi Indonesia
    • Thinking Skills & Creativity >
      • Six Thinking Hats
      • Lateral Thinking
    • Communication & Influencing Skills
    • Emotional Competence
    • Management Consulting
    • Customized Program
  • Schedule
    • INFLUENCE MASTERCLASS
  • Clients
  • Galery
    • Photo Galery
    • Quotes
    • Articles Blog
    • Videos
  • Contact

MENCARI INFORMASI ATAU MENCARI PEMBENARAN?

7/16/2016

Comments

 
Picture
Saat Anda browsing di media sosial, bolak-balik halaman koran, melihat-lihat informasi, terusan berita, atau update status dari teman-teman Anda, coba tanyakan ke diri Anda; apakah Anda sedang mencari informasi, atau sedang konfirmasi dari sebuah opini yang sudah ada di kepala Anda, yang sedang Anda tunggu kelanjutannya?
Keyakinan bawah sadar Anda mengenai sesuatu, entah yang baru terbentuk atau sudah lama, atau bawaan sejak kecil, akan dengan cepat membidik informasi yang mengkonfirmasi keyakinan tersebut. Manusia secara sadar atau tidak, akan berusaha sekuat tenaga, membuktikan apa yang ia yakini benar. Karena itu, bukan sebuah kebetulan Anda akan temukan berbagai informasi yang bernada "Tuh, khan?". Anda hanya akan temukan yang Anda cari.
Jumlah informasi yang berlalu lintas di sekeliling kita jumlahnya tidak terbatas. Yang memberikan data counter atau berlawanan dengan keyakinan kita juga sangat banyak. Tapi mata, telinga, dan indera lainnya, hanya akan lebih peka ke hal yang mengkonfirmasi keyakinan. Ini seperti kalau Anda sudah yakin seseorang itu baik, Anda lebih peka untuk mendeteksi kebaikannya, dan lebih mudah mengabaikan atau alpa melihat ketidakbaikkannya. Sama juga kalau Anda sudah yakin seseorang itu tidak baik.
Yang benar-benar mencari informasi, akan menemukan informasi dari sisi atau sudut pandang berbeda. Karena ia mencari dengan rasa ingin tahu, bukan dengan rasa sudah tahu. Pada akhirnya mungkin tetap akan menyimpulkan ke satu sisi, tapi mereka tidak buru-buru menyimpulkan. Kita temukan ini, sering pada orang-orang yang disebut sebagai skeptis. Tidak mudah percaya dan ingin buktikan sendiri. Perhatikan orang-orang dengan sikap ini sering dilabel sebagai sinis atau tidak peduli (karena tidak mau langsung menyimpulkan mendukung opini tertentu), atau bahkan tidak membela kebenaran (baca: tidak langsung setuju opini tertentu).
Orang yang benar-benar mencari informasi, di awal saat ia membaca atau melihat atau mendengar sesuatu, hanya menganggap informasi itu sebagai sebuah dugaan atau hipotesa. Hipotesa harus dibuktikan atau diuji dulu kebenarannya dengan informasi lebih, atau bukti di lapangan. Bedanya dengan yang hanya ingin cari pembenaran, yang ingin cari informasi menguji dengan data dan informasi dari arah berpikir yang berbeda, mau mendengarkan juga
Bagi orang yang hanya ingin mencari pembenaran, apa yang ia lihat atau dengar, hasilnya langsung ke kesimpulan. Kesimpulannya pun hanya dua, yakni informasi itu benar (karena sejalan dengan opininya) atau bohong/tidak benar (karena tidak sejalan dengan opininya).
Saya selalu ingat nasihat Dr.Edward DeBono, pakar 'teknik berpikir dan kreativitas', bahwa kalau Anda masih punya waktu, pakailah dulu 'topi putih' Anda, atau cari dulu informasi. 'Topi merah' atau perasaan atau intuisi, sah-sah langsung dipakai untuk buat kesimpulan, hanya kalau benar-benar Anda tidak ada waktu berpikir atau tidak ada informasi yang tersedia. Sehari-hari, kita punya waktu untuk berpikir, sebelum membuat kesimpulan. Sebagian besar keputusan kita mengenai suatu hal, terutama opini kita mengenai seseorang atau sebuah kelompok atau sebuah peristiwa, tidak mewajibkan kita putuskan dalam hitungan detik atau menit. Tentu saja, kecuali kalau kita hanya mau mencari pembenaran :-)

Comments

MATA KE KANAN ATAS ITU BOHONG?

7/11/2016

Comments

 
Picture
Hari ini saya kembali lagi melihat sebuah analisa di sebuah video, yang membahas 'eye accessing cue' dalam sebuah seminar NLP (Neuro-Linguistic Programming). Dan hari ini pula, saya kembali lagi melihat bagaimana sang trainer menjelaskan bahwa kalau mata bergerak ke kanan atas saat menjawab pertanyaan mengenai memori, 'berarti' orang itu sedang berbohong.
Bagi pembelajar NLP pemula, informasi seperti ini begitu menyentak kegirangan, seperti mendapat hadiah pengetahuan luar biasa. Sayangnya, pembelajar NLP yang belajar hanya untuk dapat pengetahuan dan informasi, terutama informasi menarik yang punya nilai jual kembali, tidak paham bahwa NLP itu sendiri bukan teori. NLP adalah ilmu aplikasi. Dan kalau ia rajin aplikasikan konsep 'eye accessing cue' ini, ia baru akan paham gerak mata ke kanan atas saat berbicara mengenai apa yang diingat, tidak harus berarti berbohong.
Betul, bahwa gerak mata ke atas mengindikasikan akses ke visual. Betul, bahwa gerak mata ke kanan atas, cenderung mendorong akses pikiran ke imajinasi visual. Betul juga, bahwa gerak mata ke kiri atas, cenderung mendorong akses ke memori visual. Tapi, bagaimana kalau mata saya bergerak ke kanan atas, karena sambil menjawab pertanyaan seseorang, saya melamunkan hal lainnya? Atau saya menjawab pertanyaan interogasi secara jujur sambil membayangkan apa yang akan terjadi pada saya? Atau bagaimana pula kalau isi perkataan saya semuanya jujur, tapi mata saya bergerak ke kanan atas karena sibuk memikirkan bagaimana mengatakannya dengan lebih baik?
Dan argumentasi menarik lainnya adalah, kalau saya sudah mempersiapkan jawaban dengan baik, atau saya sudah berkali-kali memberi jawaban kebohongan yang sama, bukankah saya bisa lolos dengan mudah dari deteksi kebohongan hanya karena saya menjawab atau berbicara dengan gerak mata ke kiri atas? Sebab yang memperhatikan seolah saya menjawab dari memori? Dan karena gerakan mata termasuk yang paling di luar kesadaran, dengan menggunakan konsep gerak mata ke kanan atas ini sebagai alat deteksi kebohongan, bisa dibayangkan berapa banyak orang yang akan dituduh berbohong, dan betapa banyak orang yang bisa kebohongannya lolos hanya karena menghapal jawaban dengan baik (sehingga menjawab dengan gerakan mata ke kiri atas).
Menganalisa dan menyimpulkan sebuah kebohongan tidak bisa sesederhana menunjuk gerak mata ke kanan atas. Sama juga tidak sesederhana mengatakan seseorang itu bohong hanya karena ia menggaruk-garuk hidung saat bicara, atau tidak berani tatap mata saat bicara. Butuh pengamatan cermat ke berbagai kanal komunikasi, seperti bahasa butuh, ekspresi, vokal, isi omongan serta gaya bicara. Serta juga butuh kemahiran menggabungkan berbagai kanal komunikasi tersebut. Cek link di bawah, bagi yang ingin mempelajari hal ini.
Semakin saya dalami skil observasi perilaku manusia, semakin saya sadar pengetahuan dan skil pun tidak cukup. Anda dan saya perlu pengalaman dan jam terbang yang cukup. Kalau memang mau menguasai skil deteksi kebohongan, belajarlah dengan mendalam dan poles diri dengan pengalaman langsung.

Picture
Comments

SOAL MOOD: TETAP DI KOLAM, TETAP BASAH

7/11/2016

Comments

 
Picture
Bedanya mood dengan emosi adalah emosi timbul dengan sangat cepat, lalu pergi. Walau juga bersifat hanya sementara, mood bisa menduduki otak dan badan seseorang untuk waktu yang lama.
Kalau Anda merasakan sesuatu 'perasaan' dalam waktu yang cukup lama, lalu secara tidak sadar menolak berbagai informasi atau masukan yang tidak mendukung perasaan itu, itu bukan lagi emosi. Itu adalah mood.
Saat Anda sedang dalam mood tertentu, Anda memfilter informasi yang masuk lewat indera Anda dan juga di dalam pikiran Anda. Anda hanya akan menerima, memproses dan memproduksi pemikiran dan tindakan yang menyetujui perasaan Anda. Dan semakin Anda supply pikiran Anda dengan pemikiran yang mendukung dan informasi yang menyetujui perasaan itu, semakin pula Anda berlama-lama dalam mood tersebut.
Bayangkan pancingan emosi seperti cipratan air kolam. Anda lewat kolam renang, seorang teman Anda mencipratkan air ke Anda. Anda bisa marah karena diciprat, bisa sedih karena baju baru Anda basah, bisa takut air tersebut bawa penyakit, bisa senang karena ingin bermain dengan teman Anda, dan macam-macam. Lalu Anda bertindak. Memarahi teman Anda, meminta ia tidak melakukan lagi, timpukin dia dengan bola kertas, cipratin balik, atau malah terjun ke kolam renang. Sesuai emosi Anda. Tapi, setelah itu, selesai sudah.
Nah, kalau Anda masih terus membawa berbagai pikiran yang mendukung perasaan Anda mengenai peristiwa tadi, sekarang mood ikut bermain. Ini terjadi contohnya, sepanjang hari Anda terus membayangkan wajah teman Anda yang tidak punya perasaan, terus berbicara di dalam kepala Anda betapa isengnya dia, terus bercerita kepada orang lain mengenai kejadian yang mengesalkan itu, dan lain-lain.
Saya mau Anda bayangkan Anda kesal sekali dengan cipratan air itu. Lalu Anda nyebur agar ia tahu Anda lebih kesal. Lalu Anda habiskan waktu berjam-jam di dalam kolam, sambil membicarakan kekesalan Anda dibasahi oleh teman Anda itu. Lalu Anda menyalahkan dia atas kekesalan Anda berjam-jam. Kedengarannya konyol? Tentu. Tapi begitulah bagaimana manusia terjebak dalam mood-nya. Dan lebih konyol lagi, sekarang kalau Anda menyalahkan air kolam yang membuat Anda bertambah kesal.
Kalau Anda kelilingi mata, telinga, hidung, mulut, dan kulit Anda dengan berbagai hal yang mendukung perasaan Anda, Anda akan menetap di perasaan itu. Dan kalau setiap hari marah terhadap suatu hal tertentu misalnya, dan ingin evaluasi diri, pertama kali evaluasilah bagaimana Anda sendiri men-supply diri sendiri dengan berbagai informasi (melalui teman, sosmed, TV, dll), imajinasi, self talk, dll, yang menjebak Anda di situ. Ingat, kalau Anda tetap di kolam, Anda tetap basah.
Dan kalau Anda melihat teman Anda yang seolah hampir selalu dalam mood bagus, sekarang Anda tahu kenapa mereka begitu. Yang ingin kerja tapi tidak mood? Sekarang Anda tahu, mungkin Anda terlalu banyak mengisi pikiran dengan hal-hal yang menjauhi pekerjaan - membayangkan kesulitannya, lebih enak melakukan hal lain, sudah membayangkan jalan-jalan, membayangkan liburan, dll.  Sering terjebak ketakutan atau sering dalam mood kesal? Sekarang Anda tahu kenapa.
Ingin mood kerja? Ya, penuhi mata, telinga, pikiran Anda dengan berbagai informasi, hal, memori, imajinasi sehubungan dengan sukses dan menikmati bekerja. Pilihlah kolamnya, lalu nyebur. Ingin happy? Cari kolam berisi informasi membahagiakan, atau isi kolam Anda dengan memori kebahagiaan, penuhi kolam Anda dengan berita menyenangkan, lalu nyebur.

Picture
Comments

RASA TAKUT BUKAN MUSUH YANG SEBENARNYA

7/10/2016

Comments

 
Picture
"Saya ingin hilangkan rasa takut", demikian ungkap seorang klien saya di masa silam. Dengan perkasa, saya gunakan semua alat bantu tercanggih yang saya miliki. 'State' atau situasi pikiran dan badan si klien segera setelah sesi tersebut memang berubah drastis. Ia saat itu sedang ingin berani untuk menjadi seorang pengusaha dan punya rasa takut untuk 'pindah jalur'. Dan ya, ia akhirnya berhasil atasi ketakutannya tersebut dan akhirnya berani membuka usaha.
Tapi tunggu dulu. Ia menelepon saya 3 bulan kemudian, mengatakan bahwa ia 'masih ada' rasa takut. Ia merasa 'masih' takut membuat keputusan yang akan mempengaruhi bisnisnya dalam jangka panjang. Apakah saya gagal 'menghilangkan' rasa takutnya? Atau, apakah kalimat 'menghilangkan rasa takut' itu sendiri tepat?
Oke, argumentasinya adalah sesi tersebut fokus pada rasa takutnya di satu konteks saja, yakni 'takut pindah jalur'. Tapi apakah rasa takut itu sendiri benar-benar bisa hilang secara total? Kalau bisa hilang, kenapa kita tetap takut di konteks tertentu? Apakah takut itu timbul berdasarkan kategori? Apakah takut itu berdasarkan waktu? Tempat? Orang? Kasus? Dan yang lebih menarik, apakah kalau ia pindah jalur lagi di masa mendatang, apakah ia tidak akan takut lagi, karena kasusnya sejenis?
Argumentasi ini kemudian memicu saya mendalami studi dan karya figur seperti Dr.Paul Ekman, Daniel Goleman, dan Joseph Le Doux. Saya temukan bahwa takut adalah bagian dari emosi manusia yang terbawa dalam satu paket di otak dan badan manusia. Manusia tidak mungkin hidup tanpa rasa takut. Takut, sebagaimana emosi lainnya - marah, sedih, bahagia, dll, adalah penting untuk survival dan motivasi manusia.
Rasa Takut Penting sebagai Motivasi
Sekarang, setelah lebih paham mengenai 'rasa takut', saya sadar bahwa 'takut' itu tidak akan bisa dihilangkan. Saya tahu, kalimat ini terbuka untuk bisa diperdebatkan kemudian oleh siapapun. Tidak usah kuatir, ini sudut pikir pribadi saya. Saya sendiri, lebih dari 15 tahun lalu, dalam program pemberdayaan diri atau seminar motivasional saya, ikut mendorong manusia menghilangkan rasa takut agar bisa maju. Dan sampai saat ini, kalimat 'hilangkan rasa takut' itu sendiri masih ramai dipakai di luar sana untuk memicu motivasi. Sah-sah saja, kalau memang akhirnya berguna. Lalu, bagaimana dengan orang-orang yang memang terlihat tidak ada rasa takutnya? Saya akan kembali ke sini nanti.
Bagaimana pun juga, kita perlu rasa takut untuk mengarahkan tindakan kita. Kita perlu rasa takut sebagai sistem motivasi kita, walau kita tidak ingin menyebutnya sebagai rasa takut. Kita perlu rasa takut untuk melindungi kita. Kita perlu rasa takut sebagai alarm atau sistem peringatan, serta sebagai sistem kewaspadaan. Rasa takut bagi saya bukan musuh yang sebenarnya.
Dan kalau kita memahami rasa takut ini sebagai sistem peringatan akan sebuah bahaya, respon kita bisa berbeda. Fokus kita bisa beralih ke persiapan atau bahkan kebangkitan, bukan menciptakan rasa takut susulan.
Karena manusia punya daya imajinasi dan rekayasa yang luar biasa di otaknya, rasa takut yang timbul sering disusulkan oleh sang manusia dengan imajinasi yang meningkatkan rasa takut tersebut. Seringkali ke level yang ekstim dan destruktif. Di era modern, dimana siklus evolusi tidak lagi mengancam keselamatan manusia secara tiba-tiba (seperti bertemu macan di jalan, diserang dinosaurus, dll), rasa takut susulan inilah yang melumpuhkan kita. Kita yang menghentikan langkah kita dengan memunculkan rasa takut susulan. Dan inilah musuh yang sebenarnya; rasa takut yang kita susulkan dengan pikiran dan tindakan kita sendiri.
Musuh Sebenarnya adalah Menakuti-nakuti Diri Sendiri
Takut akan presentasi besar besok pagi adalah hal wajar. Presentasi tersebut di hadapan bos besar dan menentukan karir kita. Sangat wajar kalau sistem tubuh kita pindah ke mode 'waspada' atau 'siaga'. Takut ini mengingatkan kita pada sebuah ancaman kegagalan, 'kalau' presentasinya berantakan. Tapi menjadi tidak lagi wajar, kalau setelah ada perasaan takut, kita susulkan itu dengan imajinasi berbagai hal buruk yang kita anggap sudah pasti terjadi. Kita bayangkan kita akan grogi, materi kita ditertawakan, bos akan menyimpulkan presentasi kita buruk, dan lain-lain.
Tapi kalau rasa takut gagal ini, kemudian kita netralisir dengan persiapan matang, dengan antisipasi setiap celah kelemahan yang bisa saja timbul, dan sejenisnya, kita bisa tetap maju. Ini berarti 'beranikan diri' setelah takut. Saya ulangi, 'beranikan diri'. Artinya ada aktifitas dengan 'sengaja' untuk beranikan diri. Jadi berani sebetulnya adalah bukan hilangnya rasa takut, tapi aktifitas maju walaupun takut.
Saya kembali ke kasus dimana orang-orang tertentu yang terkesan begitu berani. Apakah mereka benar-benar tanpa takut? Bagi saya pribadi, mereka bukan tanpa takut, tapi mereka cuekin atau abaikan rasa takut mereka. Mereka maju saja walaupun ada rasa takut. Dan dalam beberapa kasus, mereka maju dengan tingkat kewaspadaan tertentu.
Jadi, kali berikut Anda mengalami takut, awasi baik-baik imajinasi dan dialog-dialog internal Anda. Jangan-jangan Anda membuat rasa takut susulan. Kalau tindakan itu memang penting untuk Anda, dan Anda harus maju, imajinasikan dan isi dialog internal Anda dengan hal-hal yang membuat diri lebih berani. Rasa takut itu penting sebagai sistem peringatan. Karena itu ia bukan musuh Anda. Musuh Anda yang sebenarnya adalah menakut-nakuti diri sendiri dengan imajinasi dan dialog-dialog internal Anda.

Comments

Andaikan Saja Saya Semampu Mereka

7/9/2016

Comments

 
Picture
Saat alami kegagalan, kadang muncul dialog internal "Seandainya saja saya mampu seperti mereka" atau "Andaikan saja saya semampu yang lain", atau yang sejenisnya. Ucapan ini, walau terkesan normal, bisa memberi arah yang keliru mengenai kemampuan atau kecerdasan seseorang.
Kali ini saya ingin obrolkan mengenai 2 kutub keyakinan yang berlawanan; 'itulah kemampuan saya' dan 'saya bisa bertumbuh'. Yang pertama bicara soal 'orang'-nya, yang kedua soal 'proses' atau 'tindakan' orangnya.
Beberapa kita punya keyakinan 'Inilah saya' atau 'Saya memang orang yang begitu', yangmana tidak akan lagi bisa bertambah mampu, selain yang sudah saya buktikan. Kutub ini yakin bahwa kalau saya tidak bisa melakukan sesuatu, itu bukan soal skil, bukan soal saya belum belajar, tapi soal saya memang 'orang tidak mampu' di bidang itu.
Kalau Anda yakin sekali Anda 'orang tidak mampu' di sebuah bidang atau dalam sebuah perjalanan menuju impian Anda, Anda pun tidak akan berusaha lebih. Untuk apa? Toh Anda hanya akan buktikan ketidakmampuan Anda nantinya. Karena itu saat ditawarkan sebuah tugas atau posisi atau target yang lebih sulit dari yang selama ini Anda telah tekuni, dan yang belum dikuasai, atau tidak nyaman dikerjakan, untuk apa ambil resiko? 
Sementara di kutub berbeda, kalau Anda punya keyakinan 'saya bisa bertumbuh', dan fokus pada proses atau tindakan Anda, Anda punya potensi untuk terus berusaha. Keyakinan kedua ini adalah soal kerja keras dan usaha akan membuat Anda mampu melakukan atau mencapai sesuatu. Kelompok kedua ini akan lebih berani mengambil resiko mengerjakan sesuatu yang lebih dikuasai, karena mereka tahu kemampuan tidak berhubungan dengan 'siapa saya', tapi seperti apa 'usaha saya'.
Perhatikan kalimat "Andaikan saja saya semampu mereka" menunjuk ke 'saya'. Dan bandingkan dengan "Kemampuan saya masih perlu ditingkatkan", yang menunjuk ke 'tindakan' atau 'proses'. Bukankah kalimat seperti "Saya hanya perlu berusaha lebih", lebih memotivasi dibanding "Mau berusaha seperti apapun, saya akan tetap begini-begini saja"?
Arah pemikiran memang adalah pilihan kita sendiri-sendiri. Karena toh hasilnya adalah tanggung jawab dan kebahagiaan sendiri-sendiri juga.
Secara prinsip, saya memilih yang menunjuk ke arah 'usaha' atau 'tindakan'. Karena itu saya sering melakukan hal-hal yang awalnya saya tidak mampu. Yangmana kalau saya sudah yakin saya sebagai 'orang' yang tidak akan mampu lakukan itu, saya tidak bisa mencapai yang telah saya capai saat ini.
Yuk, berusaha lebih keras dan cerdas! Toh sebenarnya Anda pun sudah sering kejutkan diri sendiri dengan kemampuan baru Anda, yang awalnya tidak Anda kira Anda bisa.

Comments

OTAK SOSIAL YANG MENGHIDUPKAN EMPATI

7/5/2016

Comments

 
Picture
Saya tertarik pada ungkapan Dr.Paul Ekman mengenai EMPATI dan kasih sayang, setelah berkolaborasi sekian lama dengan Dalai Lama. Bahwa saat kita melihat orang lain menderita, OTAK SOSIAL kita memungkinkan kita untuk ikut merasakan penderitaan tersebut. Aktifitas kita dalam menolong mereka, sebenarnya adalah juga aktifitas menolong diri sendiri. Dengan membebaskan orang lain dari penderitaan, sebenarnya kita pun sedang membebaskan diri kita dari penderitaan.
Ada yang menyebut ini sebagai EMPATI. Berada di 'sepatu' orang lain, melihat dari sudut pandang mereka, merasakan yang mereka rasakan. Dan ini dimungkinkan fungsional 'sosial' di otak manusia yang sangat alami. Keberadaan 'mirror neuron' di otak manusia, memicu aktifitas EMPATI ini. Fungsi neuron ini, secara praktisnya adalah saat kita mengarahkan atensi penuh kepada sesuatu, otak kita mengimitasi yang kita lihat dengan jaringan neuronnya. Kita seperti menjiplaknya, dan merasakan seolah kita yang berada di dalam kejadian tersebut.
Walau bisa diarahkan ke berbagai emosi, temuan ini menarik dan sangat menggembirakan. Ini memberi dorongan untuk menebar kebahagiaan dan antusiasme, dengan cara yang sederhana, yakni dengan menjadi orang pertama di sebuah situasi yang mengekspresikan antusiasme atau kebahagiaan. Emosi apapun yang kita tunjukan dan sejauh bisa memancing atensi penuh, punya potensi berjangkit.
Saya sebut ini sebagai alami, maksudnya, kita tidak perlu dengan sengaja memicu aktifitasnya. Ekspresi emosi apapun pada orang lain, bisa memicu EMPATI pada diri kita. Kita bisa turut senang, sedih, marah, atau takut. Demikian pula, ekspresi emosional apapun pada diri kita, bisa memicu EMPATI pada diri orang lain. Karena itu, menebar kebahagiaan tidak harus rumit. Jadi saja orang yang tersenyum, melakukan kebaikan, menolong, memeluk, menyayangi, membawa berita bahagia, menyebarkan informasi yang memberi harapan, dan sejenisnya. Dan biarkan orang di sekitar terjangkiti dan menjangkiti lagi ke orang lain.
Tapi bagaimana dengan orang-orang yang kita sebut tidak punya EMPATI? Dari semua yang saya pernah pelajari, hanya ada dua kemungkinan yang bisa terjadi, yang membuat beberapa orang tidak terlihat bersikap EMPATI.
Pertama, orang-orang tertentu melatih dirinya untuk memberikan respon yang tidak mendukung emosi orang-orang di luar lingkaran kelompoknya. Ini bukan berarti mereka tidak EMPATI sama sekali. Ini berarti bahwa dalam sekian mili detik, mereka melatih diri untuk menolak impuls EMPATI tersebut. Mereka cepat memalingkan perhatiannya, mereka langsung mengisi pikirannya dengan self-talk atau imajinasi atau memori yang menolak EMPATI, dan sejenisnya. Ini bisa berhubungan dengan nilai hidup yang mereka percayai, keyakinan mereka mengenai berbagai hal, trauma masa lalu, tekanan kelompok (peer pressure), dan lain-lain.
Kedua,  orang-orang tertentu mempunyai struktur otak yang diyakini para Neuroscientist sebagai otak psikopat. Struktur otak orang-orang ini diklaim berbeda dari umumnya. Tapi tidak berarti orang-orang dengan struktur otak ini adalah orang berperilaku jahat. Banyak sekali yang normal seperti kita. Sebuah temuan mengungkap struktur amygdala (pusat emosi) yang lebih kecil dari ukuran rata-rata pada otak psikopat. Mereka hanya merespon situasi emosional dengan berbeda. Jadi walau tidak melakukan hal yang tidak benar, sikap EMPATI mereka bisa dinilai kurang. Catatannya, otak seperti ini sesuatu yang langka. Tidak banyak ditemui.
Apapun itu, semua kembali ke pilihan kita sendiri-sendiri untuk bersikap. Otak kita adalah OTAK SOSIAL. Kita makluk EMPATI, dan makluk SOSIAL. Tinggal kita sendiri yang mau hidup dengan anugerah ini, atau berusaha menolak ini karena berbagai logika-logika kita.

Comments

FRAME-FRAME YANG MENGHIPNOSIS

7/3/2016

Comments

 
Picture
Kekuatan sebuah FRAME atau bingkai dalam berbahasa memang dahsyat. Kalau tidak dibekali dengan kemampuan META MODEL, atau kemampuan mengklarifikasi, orang yang mendengarkan atau membaca sebuah kalimat hasil FRAMING bisa terpengaruh oleh FRAME yang dipakai.
Bayangkan berita seorang anak yang menyontek di kelasnya, lalu diberitakan dengan FRAME 'besar': "Kebiasaan Anak Jaman Sekarang". FRAME ini sangat mungkin menghipnosis orang tua atau masyarakat yang tidak kritis, untuk serba mencurigai anak-anak senang menyontek, bahkan termasuk anak yang baik-baik. Atau bisa menggunakan FRAME "Kejelian Pengawas Ujian Sedang Diuji", yangmana membingkai pemaknaan secara spefisik pada pengawasan kasus menyontek, bukan generalisasi mengenai anak.
Atau bayangkan seorang Manager di sebuah perusahaan melakukan tindakan penggelapan, lalu diberitakan sebagai "Hanya bisa terjadi di era kepemimpinan Direktur X". Yangmana FRAME ini menyeret opini mengenai semua hal di kepemimpinan X sebagai buruk. Atau dengan FRAME berbeda: "Pemimpin di jaman sekarang memang lebih peduli kepentingan sendiri", yangmana punya potensi menyeret opini siapapun pemimpin sebagai orang tidak peduli. Lalu bagaimana bila menggunakan FRAME "Kejujuran tetap menjadi prioritas di perusahaan X", yangmana mengarahkan makna secara khusus ke nilai perusahaan, bukan ke opini mengenai pemimpinnya atau kepemimpinan.
FRAME bisa mengarahkan makna, perasaan, lalu tindakan. Dan bagi yang tidak paham, FRAME seringkali dibaca atau didengarkan sebagai fakta. Apalagi kalau ditumpuk dengan kejadian-kejadian lain yang dihubung-hubungkan atau dipaksakan hubungannya. Mendengar FRAME soal menyontek di atas, saya yang tidak paham FRAME, bisa langsung menghubungkan dengan kejadian yang saya dengar di pasar dari sahabat saya mengenai anak tetangganya yang kedapatan menyontek, lalu mendukung FRAME tersebut: "Memang anak jaman sekarang begitu". Semakin jelaslah FRAME mengenai 'anak jaman sekarang' di kepala saya.
Tapi, kalau saya pakai FRAME kedua yakni soal kejelian pengawas, saya mungkin berusaha mengingat terakhir kali saya membaca atau mendengar mengenai pengawas ujian yang berhasil atau gagal menangkap siswa yang menyontek, lalu berpikir "Memang benar seorang pengawas harus lebih jeli dewasa ini".
Bagaimana kalau kejadian menyontek di atas saya FRAME dengan kalimat "Contoh lain perilaku anak malas"? Yangmana sekarang menyetir makna ke arah yang sangat berbeda, yang menembak 'hanya' anak-anak dengan sikap malas. Atau bagaimana dengan FRAME "Orang tua jaman sekarang yang tidak bisa mendidik etika anak", yang membelokkan makna ke opini mengenai orang tua. Atau bagaimana dengan FRAME "Sistem kontrol ujian di sekolah yang perlu diperbaiki", yang mengajak berpikir mengenai sistem kontrol? Perhatikan bahwa setiap FRAME mengarahkan makna sebuah kejadian. Dan yang perlu diwaspadai adalah FRAME tersebut membawa kepentingan yang memberi FRAME.
Atau bagaimana kalau kasus penggelapan oleh Manager di atas saya FRAME dengan kalimat "Hanya di era kepemimpinan Direktur X, kasus penggelapan seperti ini bisa terungkap". Atau "Sistem yang baik berhasil menangkap kasus penggelapan"? Atau bagaimana dengan "Keseriusan pemimpin era baru telah dibuktikan"? Atau bagaimana pula kalau FRAME yang dipakai adalah "Keadilan yang patut dipertanyakan", yangmana mengajak pembaca atau pendengar ke pemikiran mengenai nilai.
Perhatikan bagaimana pikiran dan perasaan Anda diarahkan dengan FRAME berbeda tersebut. Dan perhatikan juga ada FRAME yang langsung Anda tolak di pikiran dan perasaan Anda.
Intinya? FRAME apapun punya potensi menghipnosis pembaca dan pendengarnya ke arah yang berbeda-beda. Dan yang telah punya 'apps' atau 'program' META MODEL di kepalanya, akan bertanya "Anak jaman sekarang? Maksudnya anak siapa? Berapa anak seperti itu? Kebiasaan? Apakah semua anak seperti itu?" Atau "Hanya di era pemimpin X? Apakah tidak ada kasus penggelapan itu di era pemimpin lain di perusahaan ini?" Atau "Pemimpin mana yang hanya peduli dengan kepentingan sendiri? Darimana kamu tahu seorang pemimpin lebih peduli kepentingan sendiri? Kamu juga pemimpin khan, apakah kamu juga hanya peduli dengan kepentingan sendiri?"
BE SMART, friends! Agar tidak mudah diseret-seret FRAME orang-orang yang punya kepentingan sendiri. Pikiran dan perasaan kita perlu diarahkan ke hal yang lebih relevan dan penting.

Comments

    Hingdranata Nikolay

    CEO Inspirasi Indonesia

    Archives

    April 2017
    November 2016
    October 2016
    July 2016
    June 2016

    Categories

    All

    RSS Feed

Services

Photo Galery
Quotes
Articles
Training Need

Company

About Us
NLP INDONESIA
PEI INDONESIA

Support

Contact

© COPYRIGHT HINGDRANATA NIKOLAY 2016.
ALL RIGHTS RESERVED.