"Saya ingin hilangkan rasa takut", demikian ungkap seorang klien saya di masa silam. Dengan perkasa, saya gunakan semua alat bantu tercanggih yang saya miliki. 'State' atau situasi pikiran dan badan si klien segera setelah sesi tersebut memang berubah drastis. Ia saat itu sedang ingin berani untuk menjadi seorang pengusaha dan punya rasa takut untuk 'pindah jalur'. Dan ya, ia akhirnya berhasil atasi ketakutannya tersebut dan akhirnya berani membuka usaha.
Tapi tunggu dulu. Ia menelepon saya 3 bulan kemudian, mengatakan bahwa ia 'masih ada' rasa takut. Ia merasa 'masih' takut membuat keputusan yang akan mempengaruhi bisnisnya dalam jangka panjang. Apakah saya gagal 'menghilangkan' rasa takutnya? Atau, apakah kalimat 'menghilangkan rasa takut' itu sendiri tepat?
Oke, argumentasinya adalah sesi tersebut fokus pada rasa takutnya di satu konteks saja, yakni 'takut pindah jalur'. Tapi apakah rasa takut itu sendiri benar-benar bisa hilang secara total? Kalau bisa hilang, kenapa kita tetap takut di konteks tertentu? Apakah takut itu timbul berdasarkan kategori? Apakah takut itu berdasarkan waktu? Tempat? Orang? Kasus? Dan yang lebih menarik, apakah kalau ia pindah jalur lagi di masa mendatang, apakah ia tidak akan takut lagi, karena kasusnya sejenis?
Argumentasi ini kemudian memicu saya mendalami studi dan karya figur seperti Dr.Paul Ekman, Daniel Goleman, dan Joseph Le Doux. Saya temukan bahwa takut adalah bagian dari emosi manusia yang terbawa dalam satu paket di otak dan badan manusia. Manusia tidak mungkin hidup tanpa rasa takut. Takut, sebagaimana emosi lainnya - marah, sedih, bahagia, dll, adalah penting untuk survival dan motivasi manusia.
Rasa Takut Penting sebagai Motivasi
Sekarang, setelah lebih paham mengenai 'rasa takut', saya sadar bahwa 'takut' itu tidak akan bisa dihilangkan. Saya tahu, kalimat ini terbuka untuk bisa diperdebatkan kemudian oleh siapapun. Tidak usah kuatir, ini sudut pikir pribadi saya. Saya sendiri, lebih dari 15 tahun lalu, dalam program pemberdayaan diri atau seminar motivasional saya, ikut mendorong manusia menghilangkan rasa takut agar bisa maju. Dan sampai saat ini, kalimat 'hilangkan rasa takut' itu sendiri masih ramai dipakai di luar sana untuk memicu motivasi. Sah-sah saja, kalau memang akhirnya berguna. Lalu, bagaimana dengan orang-orang yang memang terlihat tidak ada rasa takutnya? Saya akan kembali ke sini nanti.
Bagaimana pun juga, kita perlu rasa takut untuk mengarahkan tindakan kita. Kita perlu rasa takut sebagai sistem motivasi kita, walau kita tidak ingin menyebutnya sebagai rasa takut. Kita perlu rasa takut untuk melindungi kita. Kita perlu rasa takut sebagai alarm atau sistem peringatan, serta sebagai sistem kewaspadaan. Rasa takut bagi saya bukan musuh yang sebenarnya.
Dan kalau kita memahami rasa takut ini sebagai sistem peringatan akan sebuah bahaya, respon kita bisa berbeda. Fokus kita bisa beralih ke persiapan atau bahkan kebangkitan, bukan menciptakan rasa takut susulan.
Karena manusia punya daya imajinasi dan rekayasa yang luar biasa di otaknya, rasa takut yang timbul sering disusulkan oleh sang manusia dengan imajinasi yang meningkatkan rasa takut tersebut. Seringkali ke level yang ekstim dan destruktif. Di era modern, dimana siklus evolusi tidak lagi mengancam keselamatan manusia secara tiba-tiba (seperti bertemu macan di jalan, diserang dinosaurus, dll), rasa takut susulan inilah yang melumpuhkan kita. Kita yang menghentikan langkah kita dengan memunculkan rasa takut susulan. Dan inilah musuh yang sebenarnya; rasa takut yang kita susulkan dengan pikiran dan tindakan kita sendiri.
Musuh Sebenarnya adalah Menakuti-nakuti Diri Sendiri
Takut akan presentasi besar besok pagi adalah hal wajar. Presentasi tersebut di hadapan bos besar dan menentukan karir kita. Sangat wajar kalau sistem tubuh kita pindah ke mode 'waspada' atau 'siaga'. Takut ini mengingatkan kita pada sebuah ancaman kegagalan, 'kalau' presentasinya berantakan. Tapi menjadi tidak lagi wajar, kalau setelah ada perasaan takut, kita susulkan itu dengan imajinasi berbagai hal buruk yang kita anggap sudah pasti terjadi. Kita bayangkan kita akan grogi, materi kita ditertawakan, bos akan menyimpulkan presentasi kita buruk, dan lain-lain.
Tapi kalau rasa takut gagal ini, kemudian kita netralisir dengan persiapan matang, dengan antisipasi setiap celah kelemahan yang bisa saja timbul, dan sejenisnya, kita bisa tetap maju. Ini berarti 'beranikan diri' setelah takut. Saya ulangi, 'beranikan diri'. Artinya ada aktifitas dengan 'sengaja' untuk beranikan diri. Jadi berani sebetulnya adalah bukan hilangnya rasa takut, tapi aktifitas maju walaupun takut.
Saya kembali ke kasus dimana orang-orang tertentu yang terkesan begitu berani. Apakah mereka benar-benar tanpa takut? Bagi saya pribadi, mereka bukan tanpa takut, tapi mereka cuekin atau abaikan rasa takut mereka. Mereka maju saja walaupun ada rasa takut. Dan dalam beberapa kasus, mereka maju dengan tingkat kewaspadaan tertentu.
Jadi, kali berikut Anda mengalami takut, awasi baik-baik imajinasi dan dialog-dialog internal Anda. Jangan-jangan Anda membuat rasa takut susulan. Kalau tindakan itu memang penting untuk Anda, dan Anda harus maju, imajinasikan dan isi dialog internal Anda dengan hal-hal yang membuat diri lebih berani. Rasa takut itu penting sebagai sistem peringatan. Karena itu ia bukan musuh Anda. Musuh Anda yang sebenarnya adalah menakut-nakuti diri sendiri dengan imajinasi dan dialog-dialog internal Anda.
Tapi tunggu dulu. Ia menelepon saya 3 bulan kemudian, mengatakan bahwa ia 'masih ada' rasa takut. Ia merasa 'masih' takut membuat keputusan yang akan mempengaruhi bisnisnya dalam jangka panjang. Apakah saya gagal 'menghilangkan' rasa takutnya? Atau, apakah kalimat 'menghilangkan rasa takut' itu sendiri tepat?
Oke, argumentasinya adalah sesi tersebut fokus pada rasa takutnya di satu konteks saja, yakni 'takut pindah jalur'. Tapi apakah rasa takut itu sendiri benar-benar bisa hilang secara total? Kalau bisa hilang, kenapa kita tetap takut di konteks tertentu? Apakah takut itu timbul berdasarkan kategori? Apakah takut itu berdasarkan waktu? Tempat? Orang? Kasus? Dan yang lebih menarik, apakah kalau ia pindah jalur lagi di masa mendatang, apakah ia tidak akan takut lagi, karena kasusnya sejenis?
Argumentasi ini kemudian memicu saya mendalami studi dan karya figur seperti Dr.Paul Ekman, Daniel Goleman, dan Joseph Le Doux. Saya temukan bahwa takut adalah bagian dari emosi manusia yang terbawa dalam satu paket di otak dan badan manusia. Manusia tidak mungkin hidup tanpa rasa takut. Takut, sebagaimana emosi lainnya - marah, sedih, bahagia, dll, adalah penting untuk survival dan motivasi manusia.
Rasa Takut Penting sebagai Motivasi
Sekarang, setelah lebih paham mengenai 'rasa takut', saya sadar bahwa 'takut' itu tidak akan bisa dihilangkan. Saya tahu, kalimat ini terbuka untuk bisa diperdebatkan kemudian oleh siapapun. Tidak usah kuatir, ini sudut pikir pribadi saya. Saya sendiri, lebih dari 15 tahun lalu, dalam program pemberdayaan diri atau seminar motivasional saya, ikut mendorong manusia menghilangkan rasa takut agar bisa maju. Dan sampai saat ini, kalimat 'hilangkan rasa takut' itu sendiri masih ramai dipakai di luar sana untuk memicu motivasi. Sah-sah saja, kalau memang akhirnya berguna. Lalu, bagaimana dengan orang-orang yang memang terlihat tidak ada rasa takutnya? Saya akan kembali ke sini nanti.
Bagaimana pun juga, kita perlu rasa takut untuk mengarahkan tindakan kita. Kita perlu rasa takut sebagai sistem motivasi kita, walau kita tidak ingin menyebutnya sebagai rasa takut. Kita perlu rasa takut untuk melindungi kita. Kita perlu rasa takut sebagai alarm atau sistem peringatan, serta sebagai sistem kewaspadaan. Rasa takut bagi saya bukan musuh yang sebenarnya.
Dan kalau kita memahami rasa takut ini sebagai sistem peringatan akan sebuah bahaya, respon kita bisa berbeda. Fokus kita bisa beralih ke persiapan atau bahkan kebangkitan, bukan menciptakan rasa takut susulan.
Karena manusia punya daya imajinasi dan rekayasa yang luar biasa di otaknya, rasa takut yang timbul sering disusulkan oleh sang manusia dengan imajinasi yang meningkatkan rasa takut tersebut. Seringkali ke level yang ekstim dan destruktif. Di era modern, dimana siklus evolusi tidak lagi mengancam keselamatan manusia secara tiba-tiba (seperti bertemu macan di jalan, diserang dinosaurus, dll), rasa takut susulan inilah yang melumpuhkan kita. Kita yang menghentikan langkah kita dengan memunculkan rasa takut susulan. Dan inilah musuh yang sebenarnya; rasa takut yang kita susulkan dengan pikiran dan tindakan kita sendiri.
Musuh Sebenarnya adalah Menakuti-nakuti Diri Sendiri
Takut akan presentasi besar besok pagi adalah hal wajar. Presentasi tersebut di hadapan bos besar dan menentukan karir kita. Sangat wajar kalau sistem tubuh kita pindah ke mode 'waspada' atau 'siaga'. Takut ini mengingatkan kita pada sebuah ancaman kegagalan, 'kalau' presentasinya berantakan. Tapi menjadi tidak lagi wajar, kalau setelah ada perasaan takut, kita susulkan itu dengan imajinasi berbagai hal buruk yang kita anggap sudah pasti terjadi. Kita bayangkan kita akan grogi, materi kita ditertawakan, bos akan menyimpulkan presentasi kita buruk, dan lain-lain.
Tapi kalau rasa takut gagal ini, kemudian kita netralisir dengan persiapan matang, dengan antisipasi setiap celah kelemahan yang bisa saja timbul, dan sejenisnya, kita bisa tetap maju. Ini berarti 'beranikan diri' setelah takut. Saya ulangi, 'beranikan diri'. Artinya ada aktifitas dengan 'sengaja' untuk beranikan diri. Jadi berani sebetulnya adalah bukan hilangnya rasa takut, tapi aktifitas maju walaupun takut.
Saya kembali ke kasus dimana orang-orang tertentu yang terkesan begitu berani. Apakah mereka benar-benar tanpa takut? Bagi saya pribadi, mereka bukan tanpa takut, tapi mereka cuekin atau abaikan rasa takut mereka. Mereka maju saja walaupun ada rasa takut. Dan dalam beberapa kasus, mereka maju dengan tingkat kewaspadaan tertentu.
Jadi, kali berikut Anda mengalami takut, awasi baik-baik imajinasi dan dialog-dialog internal Anda. Jangan-jangan Anda membuat rasa takut susulan. Kalau tindakan itu memang penting untuk Anda, dan Anda harus maju, imajinasikan dan isi dialog internal Anda dengan hal-hal yang membuat diri lebih berani. Rasa takut itu penting sebagai sistem peringatan. Karena itu ia bukan musuh Anda. Musuh Anda yang sebenarnya adalah menakut-nakuti diri sendiri dengan imajinasi dan dialog-dialog internal Anda.