Oleh: Hingdranata Nikolay
Marah itu bagian dari keluarga besar emosi manusia. Bagian dari respon otomatis otak manusia terhadap hal-hal yang terjadi kepadanya.
Yang menarik adalah analisa mengenai 'marah' dalam studi Dr.Paul Ekman mengenai berbagai emosi universal. Stimulan atau pemicu marah yang universal adalah ada yang memblok atau menghalangi kita mencapai sebuah target atau keinginan. Marah terjadi karena adanya halangan mencapai atau mendapatkan sesuatu yang kita inginkan.
Kalau Anda ingin dapat promosi, lalu ada yang menghalangi, tentu Anda marah. Di jalan, Anda pun bisa marah kalau ada yang menghalangi Anda tiba di kantor tepat waktu, walau penyebabnya Anda tidak tahu. Anda marah kalau ingin ide Anda disetujui, tapi ada ide orang lain yang menghalanginya. Anda marah kalau ingin rumah rapi, tapi ada yang menghalangi itu dengan tidak menata miliknya dengan baik. Anda marah kalau ingin pertemuan dimulai tepat waktu, ada yang menghalangi itu dengan datang telat 30 menit. Kalau Anda sangat menginginkan sebuah 'deal' terjadi, dan ada orang yang menggagalkan, Anda juga bisa marah.
jadi, marah sebagai sebuah emosi itu sangat wajar. Yang bisa dinilai tidak wajar adalah saat memilih arah dan sikap setelah marah muncul. Dan pertanyaan yang penting sehubungan dengan keinginan awal kita sendiri adalah, setelah marah muncul, kita tetap fokus untuk mencapai keinginan yang terhalangi, atau malah pindah fokus ke arah yang kita anggap menghalangi? Karena sebetulnya tadinya kita bergerak ke arah keinginan, tapi bisa berubah menjadi bergerak ke arah penghalangnya.
Saya selalu ingat salah satu prinsip dalam Neuro-Linguistic Programming (NLP), bahwa penilaian terhadap orang dipertahankan positif, dan yang dipertanyakan adalah tindakannya. Amarah yang akhirnya berpindah arah ke yang dianggap menghalangi, seringkali berujung ke 'orang', bukan lagi ke apa yang ia lakukan. Karena fokusnya bukan ke perbaikan atau perubahan proses, cara, strategi, tapi ke alokasi kesalahan. Anda bisa lihat ini dalam kejadian di kantor, seorang atasan yang marah kepada bawahan, suami dan istri yang ribut, orang tua ke anak atau sebaliknya, interaksi jual-beli yang tidak terpuaskan, dll.
Tidak saja menghilangkan momentum pergerakan menuju tujuan asli, juga menimbulkan resiko penyalahgunaan waktu, pikiran, dan tenaga. Dan sesuai dengan kaidah investasi sumber daya, aktifitas mengarahkan sumber daya ke yang kita anggap sebagai penghalang ini, malah punya resiko penipuan diri, seolah kesibukan tersebut masih berhubungan dengan arah ke keinginan awal. Jadi seolah kita letih fisik dan mental karena berusaha mencapai keinginan, tapi sebenarnya karena proses pelampiasan amarah kita ke yang kita anggap menghalangi.
Marah bisa memberi bahan bakar tambahan untuk lebih fokus dan berusaha lebih keras menuju tujuan. Karena itu marah sering jadi motivasi sukses yang luar biasa. Tapi marah juga bisa jadi penghalang, saat kita malah beralih fokus ke berbagai halangan dan hambatan, lalu menjadikan itu sebagai alasan yang kuat kenapa kita tidak berhasil mencapai tujuan.
So? Marah boleh saja. Tapi setelah itu bagaimana? Yuk jadikan sebagai motivasi sukses luar biasa. Energi marah itu sangat besar, sayang kalau disia-siakan untuk yang tidak berguna.
Marah itu bagian dari keluarga besar emosi manusia. Bagian dari respon otomatis otak manusia terhadap hal-hal yang terjadi kepadanya.
Yang menarik adalah analisa mengenai 'marah' dalam studi Dr.Paul Ekman mengenai berbagai emosi universal. Stimulan atau pemicu marah yang universal adalah ada yang memblok atau menghalangi kita mencapai sebuah target atau keinginan. Marah terjadi karena adanya halangan mencapai atau mendapatkan sesuatu yang kita inginkan.
Kalau Anda ingin dapat promosi, lalu ada yang menghalangi, tentu Anda marah. Di jalan, Anda pun bisa marah kalau ada yang menghalangi Anda tiba di kantor tepat waktu, walau penyebabnya Anda tidak tahu. Anda marah kalau ingin ide Anda disetujui, tapi ada ide orang lain yang menghalanginya. Anda marah kalau ingin rumah rapi, tapi ada yang menghalangi itu dengan tidak menata miliknya dengan baik. Anda marah kalau ingin pertemuan dimulai tepat waktu, ada yang menghalangi itu dengan datang telat 30 menit. Kalau Anda sangat menginginkan sebuah 'deal' terjadi, dan ada orang yang menggagalkan, Anda juga bisa marah.
jadi, marah sebagai sebuah emosi itu sangat wajar. Yang bisa dinilai tidak wajar adalah saat memilih arah dan sikap setelah marah muncul. Dan pertanyaan yang penting sehubungan dengan keinginan awal kita sendiri adalah, setelah marah muncul, kita tetap fokus untuk mencapai keinginan yang terhalangi, atau malah pindah fokus ke arah yang kita anggap menghalangi? Karena sebetulnya tadinya kita bergerak ke arah keinginan, tapi bisa berubah menjadi bergerak ke arah penghalangnya.
Saya selalu ingat salah satu prinsip dalam Neuro-Linguistic Programming (NLP), bahwa penilaian terhadap orang dipertahankan positif, dan yang dipertanyakan adalah tindakannya. Amarah yang akhirnya berpindah arah ke yang dianggap menghalangi, seringkali berujung ke 'orang', bukan lagi ke apa yang ia lakukan. Karena fokusnya bukan ke perbaikan atau perubahan proses, cara, strategi, tapi ke alokasi kesalahan. Anda bisa lihat ini dalam kejadian di kantor, seorang atasan yang marah kepada bawahan, suami dan istri yang ribut, orang tua ke anak atau sebaliknya, interaksi jual-beli yang tidak terpuaskan, dll.
Tidak saja menghilangkan momentum pergerakan menuju tujuan asli, juga menimbulkan resiko penyalahgunaan waktu, pikiran, dan tenaga. Dan sesuai dengan kaidah investasi sumber daya, aktifitas mengarahkan sumber daya ke yang kita anggap sebagai penghalang ini, malah punya resiko penipuan diri, seolah kesibukan tersebut masih berhubungan dengan arah ke keinginan awal. Jadi seolah kita letih fisik dan mental karena berusaha mencapai keinginan, tapi sebenarnya karena proses pelampiasan amarah kita ke yang kita anggap menghalangi.
Marah bisa memberi bahan bakar tambahan untuk lebih fokus dan berusaha lebih keras menuju tujuan. Karena itu marah sering jadi motivasi sukses yang luar biasa. Tapi marah juga bisa jadi penghalang, saat kita malah beralih fokus ke berbagai halangan dan hambatan, lalu menjadikan itu sebagai alasan yang kuat kenapa kita tidak berhasil mencapai tujuan.
So? Marah boleh saja. Tapi setelah itu bagaimana? Yuk jadikan sebagai motivasi sukses luar biasa. Energi marah itu sangat besar, sayang kalau disia-siakan untuk yang tidak berguna.